Permasalahan yang timbul di lingkungan sekitar akhir-akhir ini, membuat saya kembali membuka beberapa buku yang saya beli tujuh tahun silam. Buku Undang-Undang yang berisi Kompilasi Hukum Islam ini saya beli didasarkan atas kebutuhan saya di masa lalu akan informasi dan kepastian hukum menyangkut permasalahan rumah tangga dan hak asuh anak bagi orang tua yang bercerai. Teringat bahwa saat itu saya sama sekali tidak tahu tentang hukum dan kompilasi hukum Islam ( mungkin hal ini terjadi karena saya terlalu fokus hanya membaca buku-buku kedokteran dan musik klasik saja ). Dan ternyata salah satu pembuat UU – KHI adalah ‘Pak Odang’ ( Pakde ) saya.
Menyangkut hak asuh anak , tertulis bahwa anak yang belum mummayiz lebih tepat untuk berada dibawah pengasuhan ibunya dengan persyaratan bahwa Si Ibu haruslah seseorang yang memenuhi lima persyaratan sebagai Ibu yang berhak memegang hak asuh, yaitu Islam , sehat jasmani dan rohani , berakal sehat atau tidak gila, tidak berbuah zina dan mampu memelihara anak tersebut.
Mummayiz diartikan sebagai kemampuan untuk membedakan yang hak dan batil atau yang benar dan salah dan secara khusus dalam analogi usia dipakai patokan usia anak 12 tahun.
Namun hukum tinggallah hukum, dan Undang-Undang menjadi sekedar tulisan bila tidak dapat dilaksanakan dan dikawal sampai tahap eksekusinya.
Berdasarkan pengalaman saya tujuh tahun silam, penerapan KHI tanpa disertai itikad baik dari tiap-tiap individu yang berperkara untuk menjalankannya akan menjadi permasalahan dan kondisi yang sarat konflik seperti lingkaran setan yang tiada akhir. Bagaimana bisa bila seorang anak (usia balita ) yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama bahwa hak asuhnya ada dibawah Ibunya dan kemudian secara paksa diambil dan tidak dikembalikan oleh ayahnya, dan aparat hukum tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak dapat melakukan eksekusi dari ketetapan pengadilan ? Dengan alasan bahwa yang mengambil (secara paksa) juga ayahnya ? Lalu dimana kekuatan KHI dan ketetapan PA ?
Juga masih berdasarkan pengalaman saya mencari keadilan atas hal diatas dan keputusasaan terhadap aparat hukum, saya kemudian mengenal Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ). Yang dengan perjuangan bersama lembaga inilah saya berhasil mendapatkan keadilan yang saya harapkan. Dibantu dengan ahli hukum dan psikolog anak dalam kurun waktu sekitar empat bulan dari ketetapan PA saya berhasil mendapatkan hak saya yaitu anak yang sangat saya sayangi. Terima kasih atas dukungan Ibu Mike, SH, Psikolog Anak yang saya sudah lupa namanya (mohon maaf), Bp.Seto Mulyadi, Bp.Aris Merdeka S. Penegakan KHI dan keadilan telah diberikan melalui mereka yang bekerja tidak mengenal agama, ras dan suku bangsa namun bekerja sesuai amanat KPAI.
Saran bagi mereka yang sedang bermasalah terkait hak pengasuhan anak adalah sbb :
- Cobalah untuk menjalin komunikasi dengan pasangan Anda atau pihak yang berperkara dalam perceraian secara positif dan jalin hubungan yang baik menyangkut anak.
- Bila kondisi diatas tidak dapat terjalin ( konflik ‘memanas dan berkepanjangan’ ) dan bila Anda yakin bahwa Anda seorang Ibu yang mampu memelihara dan memenuhi kriteria yang ditetapkan KHI, maka jangan pernah lepaskan anak Anda sekejap pun minimal sampai anak mummayiz ( karena KHI tanpa eksekusi hanya tinggal KHI , ketetapan hak asuh anak tanpa ada anak Anda maka hanya tinggal hak asuh, eksekusi hanya dapat dilakukan untuk barang / benda mati dan tidak dapat dilakukan untuk seorang Anak ) maka Anda harus menjadi pribadi yang tangguh untuk dapat mengawalnya sendiri.
- Cobalah untuk mendapatkan pandangan , saran dan dukungan dari Komisi Perlindungan Anak bila Anda khawatir terjadi sesuatu yang membahayakan kondisi fisik dan psikologis anak Anda.
- Bila Anda berada dipihak yang benar maka yakinlah bahwa Yang Maha Kuasa akan menuntun, menjaga dan menunjukkan jalan terbaik bagi Anda dalam kasih sayang Nya. Semoga bermanfaat.
Tinggalkan Balasan